Sep 3, 2008

Memberdayakan Seksualitas Perempuan

Resensi Buku

Judul Buku : Hegemoni Heteronormativitas Membongkar Seksualitas Perempuan yang Terbungkam.
Penulis : Endah Sulistyowati, Dkk.
Penerbit : Kartini Network, Jakarta
Cetakan : I, Januari 2008
Tebal : xxxii + 397 Halaman


Tiga Kelompok Perempuan yang Malang

Dalam beberapa tahun terakhir, perbincangan mengenaiseksualitas telah mengalami perkembangan cukup berarti. Seksualitas yang sebelumnya dianggap sebagai persoalan pribadi, saat ini tampil tanpa henti di wilayah publik. Karena itu, selain baru, membincang soal seksualitas di ruang publik juga penuh tantangan. Apalagi selama masa transisi politik dan krisis ekonomi serta bencana yang serius belakangan ini, seksualitas bagi banyak orang dianggap sebagai topik pembicaraan yang tidak penting, atau bahkan penyelewengan dari diskusi serius seperti kemiskinan, krisis ekonomi, bencana, korupsi, kekerasan berbasis agama, atau tema-tema lainnya.
Kendati demikian, masa transisi dapat dipahami sebagai titik tolak untuk memahami dan mengkonsolidasi gagasan demokrasi secara menyeluruh. Dua langkah penting untuk agenda semacam itu adalah konstruksi nilai-nilai dan sistem pengetahuan yang selama ini menjadi dasar ketidakadilan sosial, dan berikutnya peletakan nilai-nilai sipil seperti toleransi, keadilan, akuntabilitas, non-kekerasan dan nilai-nilai lainnya yang fundamental bagi terwujudnya demokrasi yang ideal.
Kehadiran buku HegemoniHeteronormativivtas; Membongkar Seksualitas Perempuan yang Terbungkam hasil penelitian di dua negara, Indonesia, dan India ini, seakan mempertegas kembali bahwa sudah tiba saatnya menmbus batas tema-tema diskusi di atas. Karena, mempertanyakan seksualitas juga termasuk agenda penting demokratisasi. Semakin mendesak lagi, karena seksualitas mempunyai wilayah internal politiknya sendiri, ketidakadilan, dan modus penindasan sendiri.
Tidak bisa misalnya, seksualitas hanya didekati dengan konsep-konsep politik konvensional, seperti demokrasi liberal, Marxisme, atau feminisme. Sebab kita tahu, feminisme sukses besar menjelaskan hubungan tidak adil antara laki-laki dan perempuan, tapi gagal memahami ketidakadilan yang bersumber pada seksualitas. Femisisme dianggap terlalu banyak terkonsentrasi pada jender kalau pun ada perbincangan soal seksualitas dalam feminisme, biasanya adalah perusahaan seksualitas yang masih dalam bingkai heteroseksualitas.
Oleh karena itu, premis bahwa hegemoni heteronormativitas yang membentuk gagasan-gagasan tentang seksualitas yang selama ini dianggap normal perlu dipertanyakan dan dibongkar kembali. Mengapa heteronormativitas (ideologi bhwa heteroseksualitas adalah bentuk hubungan seksual yang sah) dan mengapa perlu dibongkar? Sebab, sebagaimana ditunjukkan Saskia E. Wieringa dalam pengantar buku ini, “sesungguhnya seksualitas normatif adalah hasil sebuah kontruksi sosial” (hlm. xi).
Secara umum, buku setebal 397 halaman ini merupakan kumpulan profil dari hasil studi komparasi tentang bagaimana sistem heteronormativitas bekerja di dua masyarakat yang berbeda latar belakang sosial-budaya dan politiknya, yakni Indonesia dan India. Penelitian dilakukan terhadap tiga kelompok konstituen: janda, pekerja seks, dan lesbian, kelompok yang selama ini dipinggirkan dan dihinakan.
Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa ternyata meskipun berlatar sosial-budaya, politik, dan hukum berbeda, ada yang ajek dan lestari yaitu identitas jender serta relasi seksual hetero yang dianggap alamiah, dan karenanya harus dijaga dan dibentengi. Selain itu, buku ini ingin mengungkapkan bagaimana sistem heteronormativitas bekerja dalam konteks masyarakat Indonesia dan India dengan perbedaan dan persamaan di antara keduanya (agama, politik, sejarah, hukum) dan masalah-masalah yang dihadapi kaum perempuan.
Dengan memahami sistem heteronormativitas melalui kehidupan ketiga kategori perempuan tersebut, memungkinkan kita mengungkapkan cara-cara perempuan mengekspresikan agensi seksualnya (sexual agency) dengan mengguncang dominasi ideologi jender yang selama ini mengontrol seksualitas mereka. Jadi dengan mengamati bagaimana janda, lesbi, dan pekerja seks bernegosiasi dengan sistem jender dan seksual yang hegemonik, akan memperdalam pemahaman kita tentang heteronormativitas itu sendiri.
Misalnya, sebagaimana dikisahkan lima pekerja seks di jakarta dan empat PSK di New Delhi, yang memanipulasi pelanggan atau kliennya secara seksual. Dari penelitian Endah Sulistyowati dan Bharti Mohan tersebut, jelas memperlihatkan bagaimana dominasi laki-laki dikonstruksikan. Membandingkan pengalaman Indonesia dan India maka kita akan tercengang oleh perbedaan-pebedaan di antara ketiga kelompok perempuan yang dikaji. Hal ini memperlihatkan bahwa jender adalah sebuah proses sosial-budaya, meski di kedua negara ini jender ternyata masih dilihat sebagai sesuatu yang “alamiah” dab “stabil” (hlm. 73 dan 249) (Menurut Nur Faizah, alumnus Yayasan Qomaruddin, Bungah, Gresik. Mahasiswi Pascasarjana UGM Jogjakarta).

Sebagaimana diperlihatkan oleh rofil-profil di dalam buku ini, ada mekanisme pengaturan amat kuat yang lebih keras menekan perempuan daripada laki-laki untuk mempertahankan benteng normativitas. Bahkan laki-laki yang termasuk dalam kategori terstigma, seperti banci di Indonesia atau hijra di India, juga mendapatkan keuntungan dari patriarchal dividen (bonus patriarkal) tersebut. Penyimpangan seksual yang dilakukan oleh laki-laki lebih dapat diterima dibandingkan bila itu dilakukan oleh perempuan .
Namun sayangnya, hasil penelitian yang tertera dalam buku ini, sebenarnya tidak secara luas menguraikan ketimpangan jender dalam wilayah ekonomi-politik, tetapi lebih berkonsentrasi pada tatanan emosional ketiga kategori dalam gambaran permasalahan atas potensi-potensi hubungan tulus yang didasarkan pada kesetaraan seksual dalam kerangka kekuasaan jender. Tiga kategori perempuan yang diteliti seolah-olah tidak memiliki kedaulatan terhadap seksualitasnya sendiri. Baik seksualitas dalam maknanya sebagai identitas diri (self identity), tindakan seks, (sex action), perilaku seksual (sexual behavior), maupun sebagai orientasi seksual (sexual orientation).
Terlepas dari kesalahan editing yang cukup menggangu dalam buku ini, kaum perempuan dari pinggiran normativitas mendapatkan kembali suaranya dan berbicara kepada kita tentang bagaimana hidup mereka dikontrol oleh penjaga normativitas. Membaca kisah-kisah mereka, setidaknya... dapat membuka mata hati dan telinga kita akan potensi untuk menciptakan sebuah masyarakat yang bebas dari paksaan dan kekerasan seksual. Sehingga semua orang daat menggali seluruh potensi dirinya untuk mencinta dan dicinta, dan daripadanya memberikan cinta kepada masyarakatnya.

No comments:

Send Your Message To My EmaiL....

Your Name :
Your Email :
Subject :
Message :
Image (case-sensitive):